Ironi Sepakbola Kita

Oleh: Noviyanto Aji

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

SURABAYA (SurabayaPostNews) — SEORANG teman bertanya, bagaimana masa depan sepakbola Indonesia ke depannya. Itu kekhawatiran teman setelah mendengar kompetisi Liga 2 dan Liga 3 tidak digulirkan.

Wajar teman khawatir. Karena keponakannya dimasukkan ke salah satu klub sepakbola. Mungkin juga banyak orangtua merasakan hal sama. Ketika anaknya memiliki bakat dan diikutkan ke klub bola, harapannya kelak si anak akan menjadi pesepakbola nasional. Membela negara. Mengenakan seragam kebesaran Merah Putih dengan logo Garuda di dada. Membuat para orangtua bangga.

Apalagi puncak karir pesepakbola adalah ketika dia bermain di Piala Dunia.

Indonesia sendiri pernah ikut Piala Dunia sekali, yaitu pada 1938 di Perancis dengan nama Hindia Belanda.

Pada masa itu, Indonesia menjadi tim Asia pertama yang berlaga dalam Piala Dunia FIFA. Dalam pertandingan pertama, Indonesia takluk dari Hongaria dengan skor 6-0. Saat itu sistem turnamen menganut knock out. Tim yang kalah langsung gugur.

Yang menjadi ironi justru saat ini. Ketika Indonesia terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada 20 Mei mendatang, PSSI melalui rapat Komite Eksekutif (Exco), pada Kamis (12/1/2023), justru membuat keputusan tidak menggulirkan kompetisi Liga 2 musim 2022/2023 dan Liga 3.

Alasannya, ada permintaan dari sebagian besar klub Liga 2 yang menginginkan kompetisi tersebut tidak bisa dilanjutkan. Namun ada yang bilang bahwa tidak digulirkannya Liga 2 karena pelaksanaan kompetisi jauh dari kesiapan, mengingat baru saja terjadi tragedi Kanjuruhan yang memilukan. Sekedar diketahui, Liga 2 2022/2023 diikuti oleh 28 yang terbagi ke dalam tiga Grup. Ada wilayah Barat (9 tim), Tengah (10 tim), dan Timur (9 tim). Liga 2 sendiri sudah melakoni tujuh pekan kompetisi.

Kalau memang alasannya karena tragedi Kanjuruhan, kenapa tidak sekalian saja menghentikan Liga 1. Toh, tragedi Kanjuruhan terjadi di kompetisi Liga 1. Atau jangan-jangan ada tekanan dari pihak sponsor Piala Dunia U-20. Pasalnya, enam stadion sudah disiapkan. Dana besar telah dikeluarkan agar stadion tersebut memenuhi standar FIFA. Sementara bila Liga 2 digulirkan, maka harus selesai sebelum Piala Dunia U-20 digulirkan.

Intervensi dari sponsor Piala Dunia U-20 bukan hal baru. Antara politik dan olahraga bertemu sudah pernah terjadi di Piala Dunia 2022 di Qatar yang baru selesai digelar.

Terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah membawa banyak masalah. Qatar menjadi satu-satunya tuan rumah Piala Dunia yang biasa diselenggarakan bulan Juni-Juli, digeser menjadi bulan November-Desember. Dengan kata lain, Piala Dunia Qatar digelar di tengah kompetisi Eropa sedang berjalan. Maka wajar bila Asosiasi sepak bola Eropa menganggap hal ini mengganggu agenda-agenda rutin mereka.

Sejak negara super kaya itu ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 hingga berhasil mengintervensi jadwal liga-liga di Eropa, tuduhan penyuapan banyak disematkan terhadap pejabat FIFA.

Jika Piala Dunia saja bisa diintervensi, maka mudah bagi sponsor menghentikan kompetisi di negara-negara berkembang yang sepakbolanya masih carut marut, yang pejabatnya gampang disuap, atau infrastruktur mereka yang terbatas seperti Indonesia.

Selain menghentikan Liga 2 dan Liga 3, rapat Exco PSSI juga memutuskan Liga 1 BRI 2022/2023 tetap bergulir dengan catatan tanpa degradasi. Entah bagaimana nasib ke depan sepakbola Indonesia. Entah bagaimana juga hitung-hitungannya bila sepakbola tanpa degradasi.

Yang lucu, keputusan siapa klub yang nantinya mewakili Indonesia di kompetisi AFC musim 2023/2024 akan diambil lewat pertandingan play-off antara lain juara Liga 1 musim 2021/2022 dan juara Liga 1 musim 2022/2023.

Tidak digulirkannya Liga 2 dan Liga 3 dan tetap mempertahankan Liga 1 tanpa degradasi, tentu membuat kerugian sangat besar bagi perkembangan sepakbola tanah air. Banyak pesepakbola muda bertalenta terancam karirnya.

Jika alasannya Liga 2 harus selesai sebelum Piala Dunia U-20 digulirkan, seharusnya bisa dicarikan solusi tanpa menghentikan kompetisi. Ini kesannya bakat-bakat muda Indonesia sengaja ‘dikorbankan’ demi kepentingan lebih besar yang tidak berfaedah, apalagi pengorbanan itu dilandasi cuan.

Sampai kapan pun sepakbola tanah air tidak akan maju, bukan karena pemainnya, bukan karena pelatihnya, melainkan karena pejabat-pejabatnya yang tidak becus mengelola sepakbola. Selalu menjadikan sepakbola seperti barang dagangan. Bila laku dipoles terus menerus selama dapat mengeruk pundi-pundi uang. Bila tidak laku ya dibuang. Sebaliknya, bila dagangan itu ada masalah seperti tragedi Kanjuruhan, semua lepas tangan.@

Penulis adalah Jurnalis Senior

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Leave A Reply

Your email address will not be published.