Stabilitas Politik Indonesia di Ujung Tanduk: Friksi Elit dan Gelombang Rakyat

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Pada Februari 2025, Indonesia memasuki babak baru dalam dinamika politiknya. Pemerintahan Prabowo Subianto yang baru saja dilantik menghadapi ujian awal yang signifikan: resistensi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di ranah elit dan gelombang protes masyarakat sipil melalui aksi “Indonesia Gelap” serta tagar #KaburAjaDulu. 

Kedua peristiwa ini, meski berbeda dalam bentuk dan aktornya, menjadi cermin ketegangan yang kini menyelimuti stabilitas politik Tanah Air.

Friksi Elit: PDIP vs Prabowo

Salah satu sorotan utama adalah instruksi politik dari Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, yang meminta kepala daerah terpilih dari partainya untuk menunda keikutsertaan dalam retreat yang digagas Presiden Prabowo di Magelang pada 20 Februari 2025.

Retreat ini, yang bertujuan menyamakan visi antara pemerintah pusat dan daerah, tampaknya menjadi ajang konsolidasi awal bagi Prabowo. Namun, langkah PDIP ini— dikeluarkan bertepatan dengan penahanan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto oleh KPK—bisa dibaca sebagai penegasan posisi politik yang tegas: PDIP tidak akan mudah tunduk pada tekanan atau agenda pemerintah yang dianggap bertentangan dengan garis partai.

Implikasinya terhadap stabilitas politik cukup kompleks. Jika instruksi ini ditaati sepenuhnya, retreat Prabowo berpotensi kehilangan legitimasi sebagai forum nasional, terutama karena PDIP masih memiliki pengaruh besar di tingkat daerah. Ini bisa memunculkan persepsi bahwa Prabowo belum sepenuhnya menguasai dinamika politik lokal, yang selama ini menjadi tulang punggung pelaksanaan kebijakan nasional.

Sebaliknya, jika ada kepala daerah PDIP yang “membelot” dan tetap hadir, hal ini justru dapat memperlihatkan kerapuhan disiplin internal PDIP—sesuatu yang selama ini menjadi kekuatan partai pimpinan Megawati.

Dalam kedua skenario, tensi antara pemerintah dan PDIP sebagai kekuatan politik terbesar di luar koalisi Prabowo tampaknya akan terus meningkat.

Langkah PDIP ini juga tidak lepas dari konteks penahanan Hasto, yang oleh partai dianggap sebagai bentuk intimidasi politik. Dengan mengambil sikap keras, PDIP seolah ingin menegaskan bahwa mereka siap menjadi oposisi vokal, meski belum secara resmi menyatakan demikian. Pertanyaannya, seberapa jauh strategi ini akan efektif dalam mengimbangi dominasi koalisi besar Prabowo yang didukung Gerindra, Golkar, dan partai-partai lain.

Gelombang Rakyat: “Indonesia Gelap” dan #KaburAjaDulu

Di sisi lain, aksi “Indonesia Gelap” yang dipelopori mahasiswa dan masyarakat sipil sejak 17 Februari 2025 menambah lapisan ketidakpastian dalam stabilitas politik. Aksi ini, yang mencapai puncaknya pada 20 Februari, mengusung berbagai tuntutan: pencabutan Inpres No. 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran yang dianggap merugikan rakyat, evaluasi program makan bergizi gratis, hingga penolakan revisi undang-undang yang kontroversial.

Bersamaan dengan itu, tagar #KaburAjaDulu yang ramai di media sosial menjadi simbol pesimisme dan sindiran terhadap situasi yang kian memburuk di mata publik.

Gerakan ini menunjukkan adanya keresahan di kalangan rakyat yang merasa tidak terwakili oleh elite politik, baik pemerintah maupun oposisi formal. Berbeda dengan friksi PDIP-Prabowo yang berlangsung di ranah elit, “Indonesia Gelap” adalah tekanan dari bawah yang bersifat lebih spontan dan organik. Jika terus meluas, aksi ini bisa menjadi ancaman nyata bagi pemerintahan Prabowo yang masih dalam tahap konsolidasi. Namun, ada pula risiko polarisasi jika gerakan ini mulai “dibajak” oleh kekuatan politik tertentu.

Stabilitas Politik di Persimpangan

Melihat dua dinamika ini, stabilitas politik saat ini berada di persimpangan kritis. Pemerintahan Prabowo, dengan modal koalisi besar, sebenarnya memiliki kekuatan politik yang signifikan. Namun, resistensi dari PDIP dan gelombang protes masyarakat menjadi ujian nyata bagi kemampuan Prabowo dalam menavigasi konflik. Dalam jangka pendek, ada beberapa skenario yang mungkin terjadi:

Jika Prabowo mampu merangkul kepala daerah (termasuk dari PDIP) melalui dialog atau kebijakan yang inklusif, serta merespons tuntutan rakyat dengan solusi konkret, stabilitas bisa terjaga. Ini akan memperkuat posisinya sebagai pemimpin yang mampu menyatukan berbagai kepentingan.

Sebaliknya, jika friksi dengan PDIP berubah menjadi permusuhan terbuka dan aksi masyarakat tidak tertangani, polarisasi politik bisa semakin tajam. Hal ini berpotensi mengguncang stabilitas, terutama di tahun pertama pemerintahan yang biasanya menjadi fondasi bagi lima tahun ke depan.

Kemungkinan situasi politik akan tetap tegang namun terkendali, dengan PDIP dan pemerintah saling berhadapan tanpa ada pemenang jelas, sementara suara rakyat terus bergema tanpa perubahan signifikan.

Upaya pemerintahan Prabowo dalam menyeimbangkan tekanan dari elit PDIP dan gelombang rakyat akan menjadi penentu arah ke depan. Di tengah tarik-menarik ini, satu hal yang pasti: politik Indonesia penuh dinamika. Tantangan terbesar kini ada di tangan Prabowo untuk membuktikan bahwa ia tidak hanya mampu memenangkan pemilu.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.